Kondom, menurut pemaparan dr. Meiwita Paulina Budiharsana MPA., Ph.D.
pada Kuliah Umum Biostatistik “KB Pia dengan Dua Fungsi, Kenapa Masih
Risih Menggunakannya?” merupakan alat kontrasepsi pria yang memiliki dua
fungsi, yaitu sebagai alat pencegahan kehamilan dan sebagai alat
pencegah transmisi infeksi menular seksual. Sampai saat ini, kondom
dinilai cukup efektif sebagai salah satu cara untuk mencegah transmisi
atau infeksi baru HIV.
Dalam upaya pencegahan transmisi HIV, negara-negara Asia yang kurang
lebih sama dengan Indonesia, mengalami penurunan angka kasus baru HIV
dari tahun ke tahun. Contohnya Nepal, jumlah kasus baru HIV menurun dari
6.200 kasus baru menjadi 4.900 kasus baru pada tahun 2007. Di Asia
Tenggara, hanya Indonesia dan Laos dinilai tidak akan mencapai target
MDGs untuk penurunan kasus baru HIV. Selain itu, hanya Indonesia yang
jumlah penggunaan kondomnya selama 20 tahun masih dibawah 10%
berdasarkan data SDKI 2007.
Salah satu cara untuk dapat menggali sebab kenapa penggunaan kondom
di Indonesia masih rendah adalah dengan melakukan penelitian dengan
Institutional Analysis and Development (IAD) Framework. IAD Framework
ini digunakan oleh beberapa peneliti dibidang ekonomi, salah satunya
adalah Elinor Ostorm yang memenangkan nobel Sveriges Riksbank Prize in
Economic Sciences in Memory of Alfred. Framework ini dapat mengukur
faktor-faktor yang tidak dapat diukur dalam suatu penelitian
kuantitatif, dimana intervensi yang dikembangkan dari hasil survei
kuantitatif tidak cukup strategis dalam menembus dan/atau meningkatkan
pemahaman informan akan suatu masalah, khususnya dalam hal ini adalah
penggunaan kondom untuk pencegahan transmisi HIV. Metode ini mengukur
faktor yang mempengaruhi informan penelitian (agama, nilai, budaya,
dll.) dalam bersikap atau menjawab pertanyaan penelitian.
Ada 4 level yang ada pada metode Institutional Analsysis yaitu
informal institutions (norma, agama, keyakinan, budaya dan peraturan
tidak tertulis yang dianut masyarakat), constitutional choice level
(kebijakan pemerintah, kebijakan donor, birokrasi dll.), collective
choice level (pembuatan kebijakan, panduan terapi Anti Retroviral,
definisi kelompok berisiko tinggi, dll.), dan operational level (layanan
jarum suntik steril, terapi rumatan metadon, voluntary counseling and
treatment untuk HIV, dll.).
Setiap level dapat saling mempengaruhi dengan level lainnya, diatas maupun dibawahnya. Level lebih atas bisa menjadi hambatan dari level dibawahnya sehingga level lebih bawah harus menyesuaikan dengan level di atasnya. Namun demikian, level lebih bawah bisa memberikan umpan balik kepada level di atasnya. Selain itu, perubahan yang terjadi akibat gerakan-gerakan disetiap level tidak bisa terjadi dalam waktu cepat kecuali level terakhir karena semakin tinggi level, maka akan semakin lama pula proses terjadinya perubahan.
Setiap level dapat saling mempengaruhi dengan level lainnya, diatas maupun dibawahnya. Level lebih atas bisa menjadi hambatan dari level dibawahnya sehingga level lebih bawah harus menyesuaikan dengan level di atasnya. Namun demikian, level lebih bawah bisa memberikan umpan balik kepada level di atasnya. Selain itu, perubahan yang terjadi akibat gerakan-gerakan disetiap level tidak bisa terjadi dalam waktu cepat kecuali level terakhir karena semakin tinggi level, maka akan semakin lama pula proses terjadinya perubahan.
Setiap level dapat dinilai melalui action arena. Dimana dalam action
arena tersebut terjadi action situation yang dipengaruhi oleh
kondisi/setting, komunitas, dan peraturan tidak tertulis yang dibawa
oleh masing-masing individu. Action situation pada action arena inilah
yang dinilai apakah sesuai dengan outcome yang diinginkan. Contohnya,
pertemuan rutin Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) dengan lembaga
terkait yang dilakukan apakah menghasilkan kebijakan yang sesuai dengan
target penurunan jumlah kasus baru HIVdi Indonesia.
Metode ini diharapkan dapat menjadi salah satu cara untuk mengetahui
akar persoalan sebenarnya dalam rendahnya penggunaan kondom sebagai
salah satu metode pencegahan transmisi HIV di Indonesia