Artikel yang ditulis oleh Sara Johnsdotter dan Birgitta Essén di
Reproductive Health Matters (2010) memberikan pandangan baru yang cukup
kontroversial tentang modifikasi organ kelamin. Kedua penulis ini
mencoba mengaji lebih jauh perbedaan sikap terhadap bedah kosmetik organ
kelamin yang dilakukan perempuan-perempuan Eropa dengan praktik female
genital cutting pada anak-anak perempuan di Afrika. Artikel ini mencoba
menjawab pertanyaan tentang bagaimana modifikasi organ kelamin, termasuk
pengurangan jaringan labia dan klitoris, bisa diterima dan legal di
banyak negara di Eropa padahal negara tersebut memiliki peraturan yang
menyatakan bahwa female genital cutting merupakan praktik ilegal, lebih
lagi World Health Organization (WHO) bahkan melarang tindakan penusukan
terhadap organ kelamin perempuan?
Sudah sejak tahun 1970-an praktik female genital mutilation atau
female genital cutting mendapat tantangan keras dari gerakan feminis di
Amerika Serikat dan Eropa. Pada saat yang sama juga ada pendapat yang
tidak sejalan pandangan bahwa sunat perempuan (female circumcision)
merupakan bentuk kekerasan laki-laki seutuhnya, padahal di banyak
situasi perempuan yang umumnya mengatur dan mendukung kuat pelanggengan
tradisi ini. Sehingga untuk menyikapi dua pandangan ini, muncul istilah
“kesadaran palsu” yang dikaitkan ke perempuan yang menegakkan dan
mempertahankan praktik ini.
Pendapat bahwa semua yang hal yang menimpa perempuan merupakan akibat
dari budaya patriarki, pada akhirnya mempengaruhi berbagai kebijakan
negara-negara barat yang melarang tindakan apapun terhadap organ kelamin
perempuan bagian luar, terlepas dari usia. Pandangan keras menolak
praktik ini pun tanpa toleransi. Di Belanda misalnya, kebijakan yang
dikeluarkan Departemen Kesejahteraan, Kesehatan dan Budaya tahun 1992
yang mengizinkan dokter untuk melakukan tindakan terhadap klitoris untuk
ritual semata, menimbulkan gelombang protes besar, terutama dari Ketua
Komite Inter-Afrika, sehingga akhirnya kebijakan tersebut dicabut.
Di sisi lain, di banyak negara-negara Barat terjadi peningkatan
permintaan tindakan bedah kosmetik organ kelamin perempuan. Yang paling
umum dilakukan adalah mengurangi jaringan labia minora (bibir dalam),
pengencangan vagina, rekontruksi himen (selaput dara), pengangkatan
(lifts) klitoris, sedot lemak, pengurangan jaringan penutup klitoris,
dan perbaikan posisi klitoris. Fenomena ini mendapat banyak perhatian
dari feminis-feminis di Eropa. Kerstin Sandell menyatakan bahwasanya
praktisi kesehatan yang melakukan tindakan ini selain memberikan
“bantuan” tapi juga menciptakan persepsi baru terhadap apa yang dianggap
“normal” yang bertentangan dengan apa yang dianggap “patologis”. Di
kalangan medis, beberapa dokter menyatakan bahwasanya tindakan ini
banyak dilakukan tanpa indikasi medis, dan beberapa dari mereka
menggangap tindakan sebagai female gential cutting.
Perempuan yang memutuskan untuk “memperbaiki” tubuhnya sering dianggap sebagai korban –korban patriarki, industri kecantikan, tekanan keidealan, ataupun keresahan batin mereka sendiri. Namun disisi lain juga ada wacana yang melawan anggapan perempuan sebagai korban, yakni bahwa merupakan hak untuk membuat keputusan apapun terhadap tubuh mereka.
Perempuan yang memutuskan untuk “memperbaiki” tubuhnya sering dianggap sebagai korban –korban patriarki, industri kecantikan, tekanan keidealan, ataupun keresahan batin mereka sendiri. Namun disisi lain juga ada wacana yang melawan anggapan perempuan sebagai korban, yakni bahwa merupakan hak untuk membuat keputusan apapun terhadap tubuh mereka.
Banyak pihak yang menyatakan bahwa tindakan female genital cutting
tidak dapat dibandingkan dengan bedah kosmetik organ kelamin, mengingat
fakta bahwa tindakan bedah kosmetik dilakukan oleh perempuan dewasa
dengan persetujuan, sedangkan female gential cutting dilakukan pada anak
atau bayi perempuan tanpa persetujuan. Akan tetapi, jika kita
mengabaikan konteks dan hanya fokus pada bagian tubuh apa yang
dihilangkan, sebenarnya kedua modifikasi ini bisa dibandingkan. Female
genital cutting mencakup segala tindakan, mulai dari yang baling berat
seperti infibulasi (pemotongan jaringan organ kelamin) hingga yang
paling ringan seperti “menusuk” untuk setetes darah. Di sisi lain, bedah
kosemetik terhadap organ kelamin, juga bisa mencakup penghilangan labia
ataupun jaringan klitoris (clitoris lifts).
“Semua tindakan, termasuk bedah kosmetik organ kelamin, dan
perbaikan selaput dara, yang legal di banyak negara dan secara umum
tidak dianggap sebagai female gential mutilation, sebenarnya termasuk
dalam definisi female genital mutilation.” (WHO, 2008)
Namun demikian , panduan WHO ini juga harusnya didasarkan pada wacana
hak asasi manusia: misalnya hak anak, hak kesehatan dan hak bebas dari
diskriminasi berbasis seks. Jadi jika kita lihat konteks Eropa dan
Afrika, maka isu ini sebenarnya adalah isu hak anak. Jika demikian, maka
seharusnya peraturan hukum Eropa memasukkan paragraf yang menyatakan
perempuan usia tertentu boleh memilih untuk memodifikasi organ
kelaminnya tanpa melihat latar belakang etnis.
Lebih lanjut lagi, penulis juga mengajak para aktifis untuk
menggunakan pendekatan hak asasi manusia (melindungi hak anak),
integritas tubuh, otonomi tubuh, dan kesetaraan dibandingkan alasan
komplikasi kesehatan ataupun berkurangnya kemampuan orgasm. Hal ini
karena tidak cukupnya bukti yang meyakinkan. Misalnya, studi yang
dilakukan oleh Morison di Gambia menunjukkan bahwa masalah kesehatan
yang dialami perempuan yang disunat tidak lebih sering dibandingkan
perempuan yang tidak disunat. Selain itu, dua penelitian di Mesir yang
menunjukkan peningkatan disfungsi seksual (berkurangnya hasrat seksual
dan kesulitan mencapai orgasme) pada perempuan yang disunat bertentangan
dengan studi di Somalia dan Sudan yang menunjukkan tidak adanya
perbedaan kepuasan seksual dengan perempuan Eropa yang tidak disunat.
Hal ini mungkin saja karena fakta bahwa klitoris memanjang ke dalam, dan
yang dipotong hanyalah bagian luar dari klitoris. Selain itu,
seksualitas lebih dari sekedar anatomi, melainkan juga melibatkan faktor
sosial, budaya, dan psikologis. Otak merupakan organ terpenting dari
aktfitas seksual, sehingga untuk mencapatkan kepuasan seksual tidak
hanya ditentukan oleh dipotong atau tidak dipotongnya organ kelamin
perempuan.
Ditulis oleh: Fita Rizki Utami, SKM