Gender dan kemiskinan merupakan isu yang masih baru di Indonesia.
Masalah kemiskinan merupakan akar permasalahan yang memiliki
dampak sangat luas terhadap peningkatan kualitas hidup perempuan,
kesejahteraan dan perlindungan anak seperti perdagangan perempuan
dan anak, penurunan derajat kesehatan dan drop out pendidikan.
Disadari
atau tidak, di tengah masyarakat terjadi kesenjangan gender, yang
bahkan tidak disadari oleh kaum perempuan sendiri. Kesenjangan itu
tampak dalam berbagai bentuk minimnya partisipasi dan
akses kaum perempuan dalam proses pembangunan selama ini. Akibatnya,
banyak program pembangunan yang substansinya belum
memperlihatkan kesetaraan dan keadilan gender.
Ketertinggalan
kaum perempuan dari laki-laki yang berujung pada ketidakadilan gender
antara lain dapat berawal dari konstruk patriarkhi masyarakat
yang sudah membudaya, depolitisasi kepentingan negara yang
terwujud pada sistem negara yang tidak adil terhadap kepentingan
kaum perempuan, interpretasi agama yang tidak benar dan
kurangnya akses perempuan dalam berbagai kesempatan. Akomodasi
kebutuhan riil perempuan sering dipahami hanya sebatas kebutuhan rumah
tangga/keluarga, kesehatan termasuk gizi, pendidikan dan ekonomi.
Akibatnya banyak institusi perempuan seperti PKK, Dharmawanita,
program P2WKSS yang dimaksudkan untuk memberdayakan
perempuan justru menimbulkan persoalan
baru bagi perempuan, yaitu beban ganda perempuan. Di satu
sisi perempuan didorong untuk aktif dalam berbagai aktifitas, tetapi di
sisi lain peran tradisional sebagai istri dan ibu tetap dibebankan
kepadanya. Akibat lebih jauh adalah terjadinya subordinasi,
marginalisasi, diskriminasi dan eksploitasi bahkan kekerasan
terhadap perempuan.
Dalam
hal kesejahteraan atau kemiskinan, perempuan mempunyai persepsi
yang lebih beragam dibandingkan dengan laki – laki. Di samping
terhadap aspek yang berhubungan dengan akses yang berkaitan
dengan pendapatan, kepemilikan asset, kualitas kesehatan, pangan serta
peluang atau kesempatan, juga mencermati hal – hal yang berkaitan
dengan kehidupan keluarga sejahtera atau miskin dalam
masyarakat seperti keharmonisan keluarga, rasa aman, ada
tidaknya hubungan dengan rentenir, gaya hidup, kemampuan membantu
orang tua, membantu orang lain, penyelenggaraan pesta yang meriah atau
tidak, serta hubungan dengan tetangga. Dalam kaitannya dengan
penyebab kemiskinan, antara laki – laki dan perempuan
tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti. Perbedaan yang
muncul adalah perempuan berpendapat bahwa suami yang memiliki lebih
dari satu istri dan memiliki anak yang banyak
dinilai sebagai penyebab terjadinya kemiskinan.Sementara
itu laki – laki menganggap ketidakcukupan pangan dan hutang sebagai
dampak kemiskinan, sedangkan perempuan lebih melihat aspek meningkatnya
anak putus sekolah dan kriminalitas sebagai dampak dari
kemiskinan.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Bank
Dunia di 12 lokasi, di beberapa lokasi khususnya di
perdesaan menyatakan bahwa perempuan mempunyai beban kerja yang
lebih berat daripada laki – laki. Mereka melakukan pekerjaan rumah
tangga, merawat anak, merawat keluarga yang sakit, dan merawat
orang tua. Mengingat jumlah perempuan miskin merupakan jumlah yang
terbesar dari jumlah seluruh penduduk dan pada umumnya perempuan lebih
disiplin serta lebih berhasil dalam mengelola usaha mikro, maka hal ini
merupakan nilai positif dalam pemberdayaan perempuan. Namun masih perlu
untuk memerangi beban kerja ganda yang ditanggungnya dan
perlunya meningkatkan kesetaraan dalam proses pengambilan keputusan
di tingkat keluarga, komunitas dan kebijakan publik.
Pengarusutamaan
gender merupakan faktor yang juga harus
diperhatikan apabila akan dilakukan target pengentasan kemiskinan
dengan angka penurunan minimal
50% pada tahun 2015. Selain itu harus ada perubahan paradigma yang
semula program pengentasan kemiskinan lebih ke arah perubahan
totalitas masyarakat miskin, sekarang paradigmanya harus melihat
elemen-elemen yang ada di masyarakat
seperti masyarakat minoritas, masyarakat
cacat dan sebagainya. Jika program pengentasan kemiskinan tidak melihat
elemen-elemen itu dan kondisi mereka, maka pengentasan kemiskinan akan
terhambat.
Tujuan pengentasan kemiskinan sesuai dengan Millenium Development Goals
(MDGs) adalah menurunkan jumlah penduduk miskin menjadi setengah,
artinya harus bisa mencapai 9,2% pada tahun 2015 dari 18,42%
tahun 2003. Penduduk miskin di Indonesia berdasarkan data BPS tahun
2001 yaitu 37.710.800 jiwa atau 18% yang terdiri dari laki-laki
sebanyak 18.555.600 (18,37%) dan perempuan 18.552.800 (18,42%).
Kondisi ini ditandai dengan adanya kerentanan, ketidakberdayaan,
keterisolasian dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. kondisi
ini juga menunjukan masih tingginya kesenjangan antara laki- laki dan
perempuan. Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan juga dapat
dilihat dalam bidang pendidikan dan kesehatan. Di bidang pendidikan,
rata-rata lama sekolah laki-laki 7,3 tahun, sedangkan perempuan 6,1
tahun. Anak laki-laki yang tidak tamat sekolah
dasar 5,34% dan anak perempuan 11,9%. Di bidang
kesehatan, angka kematian ibu mencapai 396/100 ribu lahir hidup pada
tahun 2001. Aborsi yang terjadi di kota 1.051.470 kasus dan di desa
931.410 kasus. Kasus HIV AIDS berjumlah 3.568 kasus, 840 kasus di Papua dan 468 diderita oleh perempuan.
Ketimpangan
ini apabila tidak dicermati secara mendalam, maka akan muncul
pemanfaatan sumber daya bagi yang mampu mendapatkan akses,
sedangkan yang tidak akan tetap tertinggal dan makin jauh tertinggal.
Pada masyarakat miskin kondisi ini akan berpengaruh lebih jelek lagi
manakala para pembuat kebijakan dan
program mengabaikan perbedaan kondisi dan
perempuan serta kemampuan berbagai elemen masyarakat di
dalamnya termasuk laki-laki dan perempuan. Kondisi perempuan
dan anak pada masyarakat miskin mempunyai kerentanan dan
marginalisasi mengingat peran- peran yang ada dalam institusi
dan budaya masyarakat masih adanya keterbatasan dalam akses
terhadap aset pelayanan ekonomi, produksi dan pelayanan sosial
dasar.
Di Indonesia, sumber
dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan menurut
Muhadjir ( 2005, 166) terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai
yang hidup dimasyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai
superior dan perempuan subordinat. Budaya patriarki seperti ini
tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi
kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja,
sistem kepemilikan dan sitem distribusi resoursis yang bias gender. Kultur
yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan
diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi maupun kekerasan terhadap
perempuan
Selain hal
tersebut di atas, struktur budaya patriarkhi juga melahirkan
keterbatasan perempuan dalam hal pengambilan keputusan baik di
dalam keluarga maupun di masyarakat. Dalam keluarga, pengambilan
keputusan didominasi oleh kaum laki-laki, demikian juga di lingkungan
masyarakat yang lebih luas. Di ranah publik, eksistensi perempuan juga
kurang diperhitungkan, terbukti dengan minimnya jumlah perempuan yang
menduduki posisi jabatan struktural baik di legislatif, eksekutif
maupun yudikatif yang nota bene juga berperan sebagai pengambil keputusan.
Feminisasi kemiskinan yang demikian ini erat kaitannya dengan masih kuatnya budaya patriarki yang berkembang di masyarakat. karena kultur ini pada intinya meletakkan kaum perempuan pada posisi subordinat, termarjinal dan terdiskriminasi. Oleh karena itu, kemiskinan yang dialami oleh perempuan bersifat spesifik sehingga juga diperlukan penanganan yang khusus seperti halnya pendekatan penanggulangan kemiskinan yang berperspektif gender.