Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) aborsi merupakan tindakan
penghentian kehamilan sebelum janin mampu untuk hidup di luar rahim
(uterus). Berdasarkan penyebabnya, aborsi kemudian dibedakan menjadi
dua, yakni aborsi spontan dan aborsi yang disengaja. Aborsi spontan
merupakan sebutan bagi berhentinya kehamilan tanpa adanya tindakan
pencetus. Sedangkan aborsi disengaja merupakan sebutan bagi berhentinya
kehamilan yang disebabkan tindakan tertentu yang bertujuan untuk
kesehatan perempuan.
Aborsi yang banyak menjadi kontroversi di masyarakat merupakan aborsi
yang disengaja, baik dilakukan secara aman ataupun tidak aman. Aborsi
yang dikategorikan sebagai aborsi tidak aman adalah aborsi yang
dilakukan oleh orang yang tidak terlatih atau tidak mengikuti prosedur
aborsi yang direkomendasikan WHO, ataupun keduanya. Di Indonesia
prosedur aborsi tidak aman meliputi pemberian obat-obatan yang diminum
dan dikombinasikan dengan pemijatan, memasukkan batang atau akar atau
rerumputan atau daun talas ke dalam mulut rahim, ilmu gaib, memasukkan
ramuan tumbuh-tumbuhan ke dalam vagina, dan dengan metode akupuntur.
Praktik aborsi tidak aman banyak dilakukan perempuan sebagai jalan
keluar menghadapi kehamilan tidak diinginkan yang tinggal di
negara-negara yang tidak mengizinkan aborsi, seperti Indonesia. Status
hukum ini menyebabkan perempuan nekad melakukan aborsi tidak aman karena
tidak tersedianya layanan aborsi aman ataupun kalau ada harganya tidak
terjangkau oleh semua kalangan. Selain itu, tidak adanya layanan
konseling kehamilan tidak direncanakan dan kebingungan mendapatkan
informasi yang tepat tentang layanan aborsi aman juga menyebabkan banyak
perempuan menunda mencari pertolongan aborsi aman ataupun terperangkan
di praktik aborsi tidak aman.
Praktik aborsi tidak aman ini berbahaya sekali karena dapat
menyebabkan kematian ataupun kecacatan sistem reproduksi perempuan.
Secara global diperkirakan terdapat 47.000 kematian terkait kehamilan
yang disebabkan komplikasi aborsi tidak aman. Selain itu, 5 juta
perempuan diperkirakan mengalami kecacatan akibat komplikasi aborsi
tidak aman. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi Dengan konteks hukum
yang melarang tindakan aborsi di Indonesia, semakin memojokkan posisi
perempuan yang mengalami kehamilan tidak direncakanan menjadi sangat
terpojokkan. Di satu sisi mereka tidak menginginkan kehamilan tersebut
dengan alasan cukup jumlah anak, anak terakhir masih kecil, kegagalan
kontrasepsi, masalah ekonomi, belum menikah, masih sekolah, atapun
korban perkosaan.
Pelarangan perempuan untuk mengakses aborsi terbukti tidak menurunkan
angka aborsi melainkan semakin meningkatkan angka aborsi aman dan
kematian perempuan karena komplikasi aborsi. Secara umum di dunia,
negara yang mengatur tindakan aborsi memiliki angka kejadian dan
kompilasi aborsi yang lebih rendah dibandingkan negara yang melarang
atau membatasi akses aborsi. Di Indonesia misalnya, pada tahun 2000
diperkirakan terjadi 37 tindakan aborsi untuk setiap 1.000 perempuan
usia reproduksi (15-49 tahun). Angka ini lebih tinggi dibandingkan angka
regional Asia yakni 29 per 1.000. Akibatnya, angka kematian maternal di
Indonesia relatif lebih tinggi yakni 228 per 100.000 kelahiran hidup
daripada negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Di Indonesia sampai saat ini terdapat tiga peraturan tentang tindakan aborsi, yaitu:
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum.
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
3. Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang secara umum melarang tindakan aborsi kecuali jika ada indikasi kedaruratan medis yang mengancam ibu dan bayi, janin menderita penyakit genetik atau kecacatan, atau kehamilan akibat perkosaan.
1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan melanggar hukum.
2. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
3. Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang secara umum melarang tindakan aborsi kecuali jika ada indikasi kedaruratan medis yang mengancam ibu dan bayi, janin menderita penyakit genetik atau kecacatan, atau kehamilan akibat perkosaan.
Namun ketiga peraturan tersebut saling bertentangan, yakni KUHP dan
UU No. 36 Tahun 2009 yanng secara umum melarang tindakan aborsi dengan
UU No. 7 Tahun 1984 yang pada dasarnya mendukung tindakan aborsi aman
yang bertujuan untuk mencapai status kesehatan perempuan yang optimal.
Namun demikian, sesungguhnya UU No. 36 membuka harapan untuk memberikan
akses perempuan korban KTD mengalami ke layanan aborsi aman. Hanya saja
sampai saat ini Peraturan Pemerintah dari undang-undang ini belum
disahkan sehingga sampai saat ini KUHP-lah yang masih digunakan sistem
hukum untuk menjerat perempuan korban KTD dan pihak-pihak yang
memberikan pertolongan. Jika hal ini terus berlangsung maka, akan lebih
banyak lagi perempuan korban KTD yang mengalami ataupun kematian akibat
komplikasi aborsi tidak aman.
Referensi:
1.Budi Utomo dkk., Angka Kejadian Aborsi di Indonesia: Hasil Survei di 10 Kota Besar dan 6 Kabupaten, Tahun 2000. (Depok: FKM UI dan UNFPA, Proceeding Seminar Insiden dan Aspek Psiko-Sosial Aborsi di Indonesia, 2001), 26
2.WHO, Safe abortion: technical and policy guidance for health systems, 2nd ed., Geneva: WHO, 2012.
3.Guttmacher Institute, In brief: abortion in Indonesia, 2nd Series, 2008
1.Budi Utomo dkk., Angka Kejadian Aborsi di Indonesia: Hasil Survei di 10 Kota Besar dan 6 Kabupaten, Tahun 2000. (Depok: FKM UI dan UNFPA, Proceeding Seminar Insiden dan Aspek Psiko-Sosial Aborsi di Indonesia, 2001), 26
2.WHO, Safe abortion: technical and policy guidance for health systems, 2nd ed., Geneva: WHO, 2012.
3.Guttmacher Institute, In brief: abortion in Indonesia, 2nd Series, 2008
Ditulis oleh: Fita Rizki Utami, SKM